26 01 2010

UNTUK_KITA_RENUNGKAN





Manusia Diciptakan Berpasang-Pasangan

24 01 2010

Berkaitan dengan masalah bahasan di bagian ini ialah masalah pasangan. Kalau bicara masalah pasangan, tentu berkaitan dengan siapakah pendamping hidup kita nanti. Dan juga tidak lepas dari kata “jodoh”. Sudah menjadi kodrat dari Allah SWT yang telah menciptakan manusia atas dua jenis kelamin, yaitu pria dan wanita. Hal ini merupakan bukti dari kekuasaan dan kasih sayang-Nya, bahwa jenis yang satu memiliki ketertarikan, keinginan dan perasaan sayang terhadap jenis yang lain.

Dan Allah menciptakan manusia di muka bumi ini dengan beraneka ragam suku bangsa, bahasa, dan bentuk fisik. Tapi keragaman itu dimaksudkan bukan untuk menegaskan kelebihan yang satu dengan lainnya. Justru dengan adanya hal yang demikian itulah agar antar kelompok atau jenis dapat menjalin kesatuan dalam misi yang sama sebagai hamba dan khalifah-Nya. Itulah sebabnya ayat Al-Qur’an yang menegaskan hal ini di tutup dengan tujuan keragaman jenis manusia itu dengan sebuah kalimat yang indah –“lita’arafu” – agar saling kenal dan akrab.

Dalam Al-Qur’an disebutkan:

“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS. Adz Dzariyat: 49)

Di lain ayat disebutkan pula:

“Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. Yaasiin36).

Allah memang menciptakan segala sesuatu yang ada di dunia ini saling berpasang-pasangan. Ada langit ada bumi, ada siang ada malam, ada kanan ada kiri, ada atas ada bawah, dan ada laki-laki ada perempuan. Perjodohan manusia dengan manusia merupakan hal yang sangat terhormat dan disebut dengan NIKAH, karena disertai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh agama. Dengan memenuhi syarat dan rukunnya itu manusia dapat mencapai kebahagiaan hidup berumah tangga yang sebaik-baiknya dan juga terhormat.

Allah SWT berfirman:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.” (QS. An Nisaa’: 1)

Sejak seseorang beranjak usia remaja, munculnya perasaan rindu dan hasrat untuk hidup bersama dengan lawan jenisnya semakin mendesak dan menjadi pemikiran serta sumber kegiatan dalam kehidupan setiap manusia. Tidak selamanya dan semuanya mampu memenuhi hajat hidup pernikahan sebagaimana mestinya. Walaupun proses seperti ini bersifat individual, tapi pada dasarnya uiniversal. Karena adanya berbagai macam sebab dan keadaan yang menjadi penghalang untuk dapat sesegera mungkin mewujudkan sebuah rumah tangga yang diimpi-impikan. Misalnya saja: faktor ekonomi, fisik maupun sosial bahkan tidak jarang pula psikis dijadikan dan menjadi sebab tertundanya harapan menjadi sebuah kenyataan yang membahagiakan.

Menurut saya adapun hikmah dari perjodohan ialah untuk lebih mendekatkan pada arah pernikahan. Hal ini bukan berarti kembali pada jamannya Siti Nurbaya. Tapi kalau sudah memiliki calon pilihannya sendiri dan sudah mantap dengan pilihannya, ya silahkan untuk dilanjutkan dengan membangun komitmen untuk segera menikah.

Memang beralasan dan dapat diterima akal sehat bila seseorang menunda pernikahannya disebabkan faktor ekonomi sehingga merasa tidak mampu memenuhi nafkah dan kewajiban dalam keluarganya kelak. Adanya anggapan sosial yang berkaitan dengan faktor keturunan dan kemuliaan dapat menyebabkan seseorang yang menaruh hati tersebut menjadi terhalang dan musnahlah harapannya. Selain itu juga masalah psikis tidak dapat dihindarkan, sehingga ada yang nekad dan beranggapan bahwa membujang adalah jalan yang terbaik. Orang yang terlalu idealis dapat dipastikan akan mengalami kesukaran dalam menemukan dan menentukan jodohnya. Sebab menurutnya tidak ada seorang pun yang cocok dan sesuai dengan kriteria dan ukuran serta nilai-nilai yang selalu menjadi idamannya setiap siang maupun malam. Ada saja sesuatu yang kurang dan mengurangi hasratnya walaupun pembicaraan dan langkah-langkah pendekatan sudah di tempuh, namun terpaksa dibatalkan karena tidak sesuai dengan selera dan keinginan.

Salah satu tujuan pernikahan ialah untuk memperoleh keturunan dan kesucian diri, baik lahiriyah maupun batiniyah. Dan kesucian diri itu antara lain dengan menjaga dan memelihara kehormatan. Hal tersebut juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh keberuntungan dan kemuliaan hidup di dunia dan akhirat. Selain itu tercapainya tujuan pernikahan juga sangat ditentukan oleh proses sebelum pernikahan itu dilaksanakan yaitu saat memilih jodoh.

Dalam memilih jodoh hendaklah yang “sekufu” artinya bahwa kondisi fisik, psikologis, sosial, ekonomi, pendidikan, kedewasaan dan pengalaman hidup beragama hendaklah ada kesetaraan atau kesejajaran. Meskipun disadari sepenuhnya bahwa untuk mendapatkan pasangan yang seperti itu bukanlah merupakan hal yang mudah, mengingat masih besarnya kesenjangan dan jurang pemisah yang ada dalam masyarakat. Dan sampai sekarang banyak yang masih menganggap bahwa harta adalah prioritas utama.

Allah SWT berfirman:

“Dan kawinkanlah siapa saja di antara kamu yang masih bujangan, baik pria maupun wanita, atau siapa saja di antara hamba sahayamu baik pria atau wanita yang sudah sepatutnya dikawinkan. Jika mereka dalam kemelaratan,         Allah akan memberikan kecukupan kepada mereka dengan kemurahan-Nya. Allah Maha luas pemberiannya lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur: 32)

Ayat di atas merupakan anjuran agar faktor ekonomi tidak dijadikan alasan. Standardisasi perkawinan hanyalah kesucian, kepatuhan dan ketakwaan. Itulah nilai manusia Muslim. Alangkah pentingnya hidup dalam ikatan pernikahan dan kewajiban untuk membentuk keluarga bagi yang telah sampai pada saatnya dan cukup persyaratannya, serta menyadari bencana yang akan menimpa bila mengabaikannya.





22 01 2010





Tujuan Pembentukan Kesadaran Diri

22 01 2010

Mengkaji tujuan kesadaran diri berarti memaknai kesadaran diri sebagai sesuatu yang penting bagi manusia. Pentingnya kesadaran diri terkandung dalam Al-Qur’an Surat Al-Hasyr ayat 19: “Dan janganlah kamu seperti orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.”

Dalam ayat di atas, dikatakan bahwa melupakan Tuhan menyebabkan kita melupakan diri kita sendiri, dan pada akhirnya membawa kita kepada pelanggaran. Arti kata “pelanggaran” di sini dimaknai dengan melanggar norma-norma yang ditentukan oleh agama, adat, dan hukum yang berlaku.

Sementara itu ada pula hadis yang prinsipnya sama dengan ayat di atas, tetapi melihat proses kesadaran diri dan sudut pandang lain. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa dengan bersungguh-sungguh mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”

Tersirat dalam hadis di atas bahwa pengenalan diri meliputi pengetahuan tentang Tuhan. Dan orang yang melupakan Tuhan, berarti ia telah melupakan dirinya. Arti hadis di atas yang sesungguhnya adalah upaya untuk mengenal Tuhan dengan cara mempelajari dirinya sendiri.

Nasir Makarim Syirazi dalam bukunya “Tafsir Nemuneh” jilid 20, menafsirkan ayat di atas tadi sebagai petunjuk bahwa Allah SWT akan segera menunjukkan tanda-tanda-Nya. Allah mengatakan bahwa tanda-tanda itu terdapat di dua tempat: fil afaq wa fi anfusihim, ada di dua eksternal dan dalam diri manusia. Dalam ayat ini dikatakan pula bahwa dengan memandang tanda-tanda yang terdapat dalam jiwa kita dan yang ada di alam semesta, maka kita akan semakin yakin dengan sempurna dan jelas bahwa Allah SWT benar-benar ada.

Pada pertengahan tahun 1990, Daniel Goleman menulis tentang Kecerdasan Emosional (EQ) yang merupakan hasil penelitian para neurologi dan psikolog. Buku ini telah membuka mata banyak orang bahwa ada kecerdasan lain selain Kecerdasan Intelektual (IQ) yang bisa mempengaruhi perilaku manusia.

Pada akhir abad ke-20, serangkaian data ilmiah menunjukkan adanya jenis kecerdasan ketiga yaitu Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient). Jika IQ adalah kecerdasan yang digunakan untuk memecahkan masalah logika, sedangkan EQ menyadarkan kita tentang perasaan diri dan perasaan orang lain, maka SQ adalah kecerdasan yang menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, yakni suatu kecerdasan yang menilai tindakan atau jalan hidup seseorang agar lebih bermakna. Karena itu, SQ diperlukan sebagai landasan untuk memanfaatkan IQ dan EQ secara efektif.

Keterkaitan antara SQ dengan kesadaran diri bisa dirujuk pada pendapat M. Ali Shomali tentang hakikat mengenal diri. Menurutnya, hakikat mengenal diri adalah mengenal Tuhan. Artinya, semakin manusia sadar terhadap diri mereka, maka nilai spiritual yang ada pada diri mereka akan naik dan berkembang kea rah kesempurnaan.

Menurut Daniel Goleman, “SQ merupakan unsur terpenting di antara unsur IQ dan EQ, karena dalam pencapaian nilai IQ dan EQ yang optimal, seseorang harus terlebih dahulu sadar dengan dirinya sendiri, dan juga harus benar-benar tahu apa hakikat dirinya, yakni sebagai manusia ciptaan Tuhan dan hanya mengabdi kepada-Nya”.

Tujuan atau manfaat mengenal diri sangat terkait dengan tugas mulia manusia untuk mengembangkan dirinya. Dalam buku “Relasi Dengan Diri”, Antonius Atosokhi, dkk. menunjukkan tentang cara khas manusia dalam menempuh kesadaran diri, yakni dengan bereksistensi secara terus-menerus agar bisa berada dalam proses menjadi diri sendiri. Manusia adalah sesuatu yang sudah dan sekaligus belum; yang faktual dan yang potensial; suatu realitas yang masih harus dibentuk terus-menerus, tanpa henti, dan tanpa akhir. Untuk mewujudkan kecepatan, mutu dan sebagainya, sangat ditentukan oleh peran yang dimainkan seseorang dalam merealisasikannya.

Dalam pemaparannya, Antonius lebih menekankan pada unsur kesadaran diri sebagai proses berkesinambungan dan berlangsung selama manusia hidup. Ia menekankan tentang konsep penyadaran dan pengembangan diri yang harus didasarkan pada kenyataan faktual dari diri pribadi manusia. Maksud ungkapan “kenyataan data faktual” adalah faktor riil yang ada pada diri manusia mengenai: kemampuan, keterbatasan, dan perangkat pendukung yang ada (inderawi). Hal ini dimaksudkan agar kesadaran diri berfungsi sebagai pengarah dan pembatas. Artinya, ia menilai keberhasilan seseorang dalam mewujudkan sesuatu dalam dirinya tidak lain karena memiliki potensi, yang kemudian direalisasikan dengan bantuan arahan dan pembatas dari apa yang sudah dimiliki sebelumnya.

Pendapat Antonius Atosokhi di atas memperkuat argumentasi yang disampaikan oleh Hamka dalam bukunya yang berjudul “Pribadi”. Hamka mengatakan bahwa, “tujuan pembentukan kesadaran diri adalah sebagai identitas pembeda antara pribadi satu dengan pribadi yang lain tentang sifat-sifat dan kelebihan diri, akal budi, kemauan dan cita-cita, sehingga harga kemanusiaan seseorang berbeda dengan harga kemanusiaan yang lain”.

Sebuah pernyataan menarik dikatakan Antonius Atosokhi tentang tujuan kesadaran diri ialah, “dengan mengenal diri sendiri, seseorang dapat mengenal kenyataan dirinya dan sekaligus kemungkinan-kemungkinannya, serta (diharapkan) mengetahui peran apa yang harus dia mainkan untuk mewujudkan keinginannya”.

Sebuah corak psikoterapi yang dikemukakan Victor Frank (1905) menggambarkan manfaat langsung dari proses kesadaran diri. Menurut Frank, seperti yang dikutip dalam makalahnya Hanna Djumhana Bastaman, kesadaran diri manusia mampu melepaskan diri dari berbagai macam pengaruh lingkungan dan bentuk kecenderungan alami ke arah suatu keadaan atau perkembangan tertentu dalam dirinya.

Pendapat Frank tersebut sedikit berbeda dengan konsepsi kesadaran diri yang dibangun M. Iqbal. Yang dimaksud anfus (ego) oleh Iqbal adalah manusia yang merupakan kesatuan jiwa dan badan. Identitas manusia adalah individualitas yang mempunyai kesadaran, dan berkata “aku” (I am). Konsepsi kesadaran diri inilah yang menurut Iqbal menjadi tujuan manusia yang mencari tahu tentang sumber ilmu dan sumber informasi.

Salah satu manfaat praktis mengenal diri menurut M. Ali Shomali adalah seseorang bisa berteman akrab dengan berbagai kemampuan dan bakat pribadinya. Penjelasan tentang hakikat mengenal diri (kesadaran diri) merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi seseorang untuk memahami bahwa dia tidak berdiri sendiri secara teologis. Hal ini merupakan sesuatu yang bersifat urgen, karena kesadaran diri seperti ini dapat membantu seseorang untuk memahami persamaan tanpa melihat status dalam hidup ini.

M. Ali Shomali memaparkan manfaat kesadaran diri yang terangkum dalam enam bagian, yaitu:

  1. Kesadaran diri adalah alat kontrol kehidupan. Yang paling penting dalam konteks ini adalah seorang Mukmin bisa tahu bahwa ia adalah ciptaan Tuhan yang sangat berharga, dan tidak melihat dirinya sama seperti hewan lain yang hanya memiliki kebutuhan dasar untuk dipuaskan dan diperjuangkan.
  2. Mengenal berbagai karakteristik fitrah eksklusif yang memungkinkan orang melihat dengan jelas siapa mereka.
  3. Mengetahui aspek rohani dari wujud kita. Ruh kita bukan saja dipengaruhi oleh amal perbuatan kita, tetapi juga oleh gagasan-gagasan kita.
  4. Memahami bahwa kita tidak diciptakan secara kebetulan. Dalam memahami manfaat yang keempat ini, Antonius memaparkan tentang mekanisme proses alami manusia yang senantiasa mencari alasan bagi keberadaan hidupnya. Menurutnya, melalui kesadaran diri, perenungan dan tujuan penciptaan, orang akan sadar bahwa pribadi masing-masing itu unik (berbeda satu sama lain) dengan satu misi dalam kehidupan.
  5. Manusia akan memperoleh bantuan besar dalam menghargai unsur kesadaran dengan benar dan kritis terhadap proses perkembangan dan penyucian rohani.
  6. Kesadaran diri merupakan gerbang bagi dunia non-material atau spiritual menuju kepada Sang Khaliq (Tuhan).

M. Ali Shomali menambahkan bahwa unsur terpenting dalam mekanisme kesadaran diri adalah nilai rohani dari pengenalan diri. Menurutnya, karena antara diri pribadi dengan Tuhan itu berhubungan erat, maka seseorang akan lebih bisa menilai diri secara objektif dalam mengatasi kelemahan dan kekuatan dirinya, bersyukur atas nikmat-Nya, dan bersabar terhadap cobaan dari-Nya.

Dari keenam manfaat di atas, ada satu pemahaman baru tentang hakikat keberadaan manusia, yakni bahwa keadaan fisik dan keadaan empiris tidak dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan derajat keagamaan (spiritual) manusia.





Hakikat Akhlak

21 01 2010

Berbicara masalah kehidupan, maka tidak dapat dipisahkan dengan akhlak. Akhlak laksana mutiara dalam hidup manusia, dan akhlak inilah yang membedakan makhluk Allah yang bernama manusia dengan makhluk lain. Oleh karena itu, manusia tanpa akhlak yang mulia akan jatuh predikat dan derajat kemanusiaannya dari makhluk yang paling mulia menjadi berderajat hewani, bahkan lebih hina dari binatang. Manusia yang telah hilang akhlak mulianya, maka hakekat insaniahnya juga sudah sirna.

Kata akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaqun. Kata ini adalah bentuk jamak dari kata khuluqun. Kalau diartikan, kata khuluqun itu dapat berarti kebiasaan, tabiat, perangai dan budi pekerti. Secara sosiologis, di Indonesia kata akhlak sudah mengandung konotasi baik, jadi orang yang berakhlak berarti orang yang berbudi baik.

Kalau dikaitkan dengan kata khilqatun, yang berarti hal yang berkaitan dengan masalah keterciptaan manusia, maka kata khuluqun berarti:

  1. Kebiasaan, tabiat, perangai dan budi pekerti berdasar tuntunan Allah SWT yang berupa wahyu (yang oleh karena itu konsep akhlak bukan falsafah manusia);
  2. Kebiasaan, tabiat, perangai dan budi pekerti yang sesuai/cocok dengan esensi kemanusiaan manusia (yang karena itu manusia tidak pada tempatnya dibandingkan dengan hewan).

Istilah lain yang disamakan artinya, walaupun tidak sama persis adalah istilah etika, moral dan kesusilaan. Etika (berasal dari kata Yunani ethos, ethikos) yang berarti adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan. Selanjutnya kesusilaan (dari bahasa Sansekerta su = baik, cila = dasar, aturan hidup) berarti dasar atau aturan hidup yang baik.

Sementara itu, istilah aklak tidak dapat disamakan dengan kata tatakrama, sopan santun atau etiket. Sebab, ketiga istilah terakhir ini menyangkut hal-hal praktek perbuatan yang sungguh-sungguh bersifat teknis yang sangat dipengaruhi oleh kebiasaan setempat (misalnya kesopanan makan, kesopanan masuk rumah dan sebagainya).

Dalam agama Islam, orang yang paling agung akhlaknya aadalah Rasulullah saw. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya: ”Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.

Dikatakan oleh Imam al-Ghazali dalam bukunya ”Mukasyafatul Qulub”, bahwa Allah telah menciptakan makhluknya terdiri dari tiga kategori. Pertama, Allah menciptakan malaikat dan kepadanya diberikan akal dan tidak diberikan elemen nafsu (syahwat). Kedua, Allah menjadikan binatang dan kepadanya dilengkapi dengan nafsu (syahwat) tetapi tidak dilengkapi akal. Ketiga, Allah menciptakan  manusia (bani Adam) lengkap dengan elemen akal dan nafsu (syahwat). Atas dasar itu, maka barang siapa nafsunya mengalahkan akalnya, maka hewan melata lebih baik dari manusia itu. Sebaliknya, bila manusia dengan akalnya dapat membimbing nafsu yang ada, maka dia derajatnya di atas malaikat.

Pribadi manusia tidak akan punya arti apabila elemen akhlak sirna dari dirinya. Begitu juga suatu keluarga atau masyarakat akan mengalami kemerosotan (dekadensi) yang luar biasa, jika budi luhurnya pudar atau sirna sama sekali. Bukankah Allah mengutus Rasulullah Muhammad saw. dengan visi dan misi yang sangat berat yaitu mission moral, membawa manusia kepada akhlaqul karimah, sebagaimana sabdanya: ”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”. (HR. Muslim)

Dengan demikian, akhlak bagi kehidupan manusia biasa diibaratkan laksana pilar yang menjadi penguat ketinggian derajat manusia, sekaligus sebagai pelindung dan penghias yang dapat dipandang dan dinikmati oleh masyarakat di sekitarnya. Seperti layaknya rumah yang kuat dan dicat dengan elok pilar-pilarnya, maka akan enak pula untuk dihuni dan indah untuk dipandang. Dengan manusia yang baik akhlaknya, maka akan indah untuk dipandang, menentramkan hati dalam masyarakat sekitarnya, menyenangkan dan tidak mudah dilupakan.

Sebaliknya, manusia yang hidup dalam masyarakat tanpa dengan akhlak yang mulia, laksana rumah tanpa pilar, tanpa pelindung, tanpa penghias (asesoris), alias semua makhluk tanpa terkecuali dapat masuk dengan bebasnya.





Akhlak

20 01 2010

Makna Kesadaran Diri

Penelitian maupun kajian mengenai kesadaran diri pada dasarnya berbicara tentang aspek psikologis manusia, tetapi dalam struktur pembentukan kesadaran diri. Aspek utama yang mendorong unsur kesadaran diri dalam pribadi manusia adalah aspek rohani. Jadi, buku ini mengkaji kesadaran diri melalui dua perspektif, yaitu dalam wacana psikologi dan wacana Islam.

Secara bahasa Indonesia, kesadaran diri diartikan dengan ingat, merasa, dan insyaf terhadap diri sendiri. Sedangkan dalam bahasa Arab, kesadaran diri disebut ma’rifat al-nafs. Istilah ini kemudian ditafsirkan oleh beberapa tokoh dan ilmuwan dengan pengertian pengetahuan tentang diri. Dari pengertian secara bahasa dapat diambil sebuah gambaran umum tentang kesadaran diri yang identik dengan istilah mengenal diri, paham diri, intospeksi diri, introversi, maupun penemuan jati diri.

Sedang dalam pengertian psikologi, definisi kesadaran diri diawali dengan melihat terminologi istilah “pribadi” yang berarti, sendiri atau mandiri. Dari sana didapatkan pengertian tentang kesadaran diri, yaitu: Dengan akal budi yang dimiliki, manusia mengetahui apa yang dilakukan dan mengapa ia melakukannya.

Dalam perspektif psikologi, beberapa tokoh telah mendefinisikan istilah kesadaran diri. Salah satunya adalah Antonius Atosokhi Gea dalam karyanya “Relasi Dengan Diri Sendiri”. Ia mendefiniskan kesadaran diri sebagai pemahaman terhadap kekhasan fisik, kepribadian, watak, dan temperamennya; mengenal bakat-bakat alamiah yang dimilikinya; dan punya gambaran atau konsep yang jelas tentang diri sendiri dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Dari penjelasan tersebut, kesadaran diri diartikan sebagai pemahaman diri secara utuh mengenai jati diri yang memberikan ruang lingkup seluas-luasnya untuk bertindak dan berbuat sejalan dengan apa yang dikehendaki, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki serta batasan-batasan yang ada pada dirinya.

Sedangkan Soemarno Soedarsono, seorang tenaga ahli kehormatan Lemhanas dan Ketua Yayasan Vitaniaga menjelaskan bahwa, kesadaran diri merupakan upaya perwujudan jati diri pribadi. Seseorang dapat disebut sebagai pribadi yang berjati diri tatkala dalam pribadi orang yang bersangkutan tercermin penampilan , rasa, cipta, dan karsa; sistem nilai (velue system), cara pandang (attitude), dan perilaku (Behaviour) yang ia miliki.

Tinjauan psikologi tentang kesadaran diri dikaji melalui suatu aliran yang dinamakan psikoanalisa, yaitu aliran psikologi yang menekankan analisis struktur kejiwaan manusia yang relatif stabil dan menetap. Aliran ini dipelopori oleh Sigmund Freud (1856-1939) yang kemudian disempurnakan oleh “putra mahkotanya” yaitu Carl Gustav Jung dan Erik H. Erikson.

Dalam buku “Nuansa-Nuansa Psikologi Islam”, Abdul Mudjib dan Jusuf Mudzakir memaparkan ciri utama aliran psikoanalisa yaitu:

  1. Penentuan aktivitas manusia yang didasarkan pada struktur jiwa yang terdiri atas id, ego dan superego.
  2. Memiliki prinsip bahwa penggerak utama struktur manusia adalah libido, sedangkan libido yang terkuat adalah libido seksual.
  3. Membagi tingkat kesadaran manusia atas tiga alam; yaitu alam pra-sadar, alam bawah sadar, dan alam sadar.

Mengenai aliran psikoanalisa ini, Freud membagi aspek struktur kepribaadian atas lima kategori:

  1. Biologis (id/es) adalah dorongan, naluri, dan kebutuhan yang keluar dari manusia secara spontan.
  2. Psikologis (ego/ich), atau aku manusia yang berhadapan dengan id dan superego.
  3. Sosiologis (superego) adalah hakim yang memasang norma atau tuntutan yang dengannya kelakuan manusia harus sesuai dengan norma atau tuntutan tersebut. Superego digambarkan sebagai “aku” di atas “aku”. Karena itu, ia berfungsi sebagai pengawas batin. Efek kerjanya menimbulkan rasa malu, takut, cemas, dan seteerusnya.
  4. Ideal ego adalah interelasi dari gambar-gambar seseorang yang dikagumi. Dengan pengertian lain sesuatu bagi si ego sangat dicita-citakan untuk ditiru.
  5. Suara batin adalah semacam keinsyafan ego tentang adanya kewajiban.

Menanggapi aliran ini, Erich Fromm menerangkan bahwa Freud menganggap kepercayaan terhadap suatu agama merupakan suatu delusi, ilusi (menyucikan suatu lembaga kemanusiaan yang buruk), perasaan yang menggoda pikiran dan berasal dari ketidakmampuan manusia dalam menghadapi kekuatan di luar dirinya dan juga kekuatan insting yang ada dalam dirinya.

Keinginan manusia untuk mencapai hirarki kebutuhan tertinggi (aktualisasi diri) seringkali dihanyutkan oleh realitas di sekitarnya. Kecenderungan manusia untuk berubah merupakan suatu proses pembentukan kepribadian atau karakter. Pada dasarnya, pembentukan kepribadian adalah suatu proses pembentukan diri. Seseorang yang akan menampilkan identitas baru biasanya akan meninggalkan kebiasaan masa lalunya, dan kemudian menampilkan sikap dan perilaku yang berbeda. Bahkan demi perubahan yang ingin dicapai, kadang-kadang seseorang tidak malu untuk memanipulasi diri.

Dari proses pencapaian kebutuhan ini, muncul beberapa kesalahan pemahaman (persepsi) tentang hakikat kesadaran diri. Dengan kata lain, manusia hanya mengacu pada perkembangan wacana ataupun mode di masyarakat untuk memanipulasi dirinya menjadi serupa dengan sosok yang diinginkan. Dalam hal ini, unsur yang tidak terpenuhi dalam konsep kesadaran diri adalah unsur mengenal terhadap diri.

Asumsi yang berkembang dan membudaya di masyarakat adalah berwujud wacana yang berkata bahwa memiliki kesadaran diri berarti seseorang mampu melakukan sesuatu yang diyakini benar dan sesuai dengan perencanaan yang dibuat sebelumnya. Dengan demikian, kondisi ini dimaknai dengan sebuah komitmen dan konsistensi atas sesuatu yang telah direncanakan.

Dalam upaya mengembangkan diri, manusia harus menggunakan akal, perasaan, kehendak pribadi dan memanfaatkan seluruh unsur jasmani dan rohaninya demi mencapai tingkat yang stabil dan kuat. Artinya, manusia melaksanakan dorongan-dorongan positif dan sebaliknya menolak yang negatif demi tercapainya suatu tahapan. Kondisi seperti itulah yang bisa dikatakan bahwa manusia telah berhasil menjadi dirinya sendiri.

Sedangkan dalam perspektif Islam, M. Ali Shomali menyebutkan bahwa pengenalan terhadap diri (kesadaran diri) itu berurusan dengan aspek lain dari wujud diri, dan juga aspek lain dari kondisi fisik manusia. Kesadaran diri tidak berurusan dengan dimensi rohani dari kehidupan.

Dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang menyebutkan pentingnya kesadaran diri: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Al-Hasyr: 19)

Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa melupakan Allah menyebabkan manusia kehilangan kesadaran dirinya, dan hal itu akan menjadikan manusia sebagai golongan orang-orang yang berbuat kefasikan (melanggar larangan Tuhan).

Melalui sudut pandangnya, Islam juga menerangkan konsep kesadaran diri yang terdapat dalam sebuah hadis yang berbunya: “Barangsiapa dengan sungguh-sungguh mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.” (Diambil dari Ghuurar al-Hikam)

Hadis ini menyiratkan bahwa kesadaran diri juga meliputi pengetahuan tentang Tuhan. Apabila seseorang bertekad ingin mengetahui Tuhan, maka jalan terbaik untuk melaksanakan kehendaknya ialah mempelajari dirinya sendiri.

Ayat lain yang mengkaji kesadaran diri (ma’rifat al-nafs) terdapat dalam Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tidaklah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Maidah: 105)

Dalam ayat tersebut, dapat dipahami bahwa kewajiban pribadi adalah menjaga rohani. Dalam pandangan Islam, menjaga diri secara rohani erat kaitannya dengan sikap prihatin terhadap kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, penting untuk diingat bahwa masyarakat bisa sangat mempengaruhi seseorang. Artinya, dilingkungan tempat manusia berada sangatlah mungkin untuk melemahkan atau memperkuat kadar keimanan pribadi.

Kajian tentang konsep kesadaran diri dalam perspektif Islam diwakili oleh tokoh aliran tasawuf yang juga ilmuwan Muslim yaitu Muhammad Iqbal. Ia berpendapat mengenai struktur kepribadian manusia yang muncul dari dalam (struktur) jiwa manusia, dan bukan dari relasinya dengan dunia luar. Menurutnya, “pengaruh luar bisa saja membangkitkan kesadaran jiwa, tetapi jika manusia tidak respek, maka pengaruh itu tidak akan ada artinya. Konsep ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia sejak lahir telah diberi fitrah yang mampu membentuk kepribadian”.

Dari pendapat Iqbal tersebut ada paradigm baru dalam konsep kesadaran diri, yaitu manusia addalah struktur kompleks dan rumit dari sebuah sistem yang membentuk bagian penentu arah perilaku dan kebijakan yang diambil. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang mendasari sebuah perubahan atas keseluruhan yang ada di dunia fana ini adalah manusia sendiri. Fokus dari unsur pembentukan perilaku manusia menurut Iqbal berawal dari kesadaran diri (self awareness) dan konsep diri (self concept), sebagai pembentuk kepribadian (character building).

Dari sudut pandang Islam, ada sebuah gambaran berupa desakan bagi manusia untuk tidak hanya memfokuskan diri pada jiwa (rohani) dengan mengesampingkan dunia fisik yang material, dan sebaliknya tidak hanya berpikir dunia material, tanpa mengimbanginya dengan pemenuhan kebutuhan jiwa. Dalam upaya menelusuri seluruh unsur dalam diri manusia, maka perlu dipahami terlebih dahulu bahwa manusia dapat ditelaah melalui berbagai saluran.

Saluran pertama, manusia dianggap sebagai makhluk sadar di dunia. Sudut pandang ini bertujuan untuk menerangkan manusia sebagai makhluk yang dinamis. Saluran kedua, manusia dianggap sebagai pribadi yang tinggal di antara makhluk dunia yang lain. Sudut pandang ini mengarah pada suatu garis pikiran dimana manusia diterangkan sebagai bagian dari suatu evolusi semesta alam yang memainkan perannya sendiri.

Pada prinsipnya tulisan ini mengikuti paham yang pertama, yaitu memfokuskan kepada manusia sebagai makhluk sadar di dunia. Karena penulis menganggap bahwa kesadaran merupakan esensi utama dalam sebuah pencapaian hakikat penciptaan manusia yaitu sebagai wujud mutlak.

Sebagai penegasan daru suatu definisi mengenai kesadaran diri perlu dipisahkan beberapa pokok pemikiran yang melatarbelakangi konsep manusia. Pertama, manusia dipandang sebagai wujud eksistensi sebagaimana yang ada dalam dirinya. Artinya dipertanyakan: Siapakah aku? Dan bagaimana aku dalam diriku? Di sini manusia memandang dirinya sebagai sebuah kajian terpisah dan berada pada dimensi berbeda. Kedua, manusia dipandang sebagai eksistensi di dunia yang mempertanyakan manusia dalam hubungannya dengan lingkungan dan benda-benda yang ada di dalamnya. Pokok pemikiran ketiga ialah melihat eksistensi manusia dalam arti menyeluruh, yakni mempertanyakan konsep manusia yang sebenarnya. Dalam hal ini, manusia dilihat dalam hubungannya dengan pandangan hidup, norma, dan nilai yang memberikan arti kepada hidupnya. Dalam tulisan ini penelitian lebih difokuskan pada bagian pertama, yaitu perenungan tentang manusia sebagaimana yang ada dalam dirinya.

Dalam kesadaran diri, manusia dihadapkan pada dua sisi yang saling bertolak belakang, yakni mengenal kekuatan yang dimiliki dan mengetahui kelemahan yang ada pada diri. Di antara keduanya terdapat suatu sinergi , yang apabila suatu pribadi dapat menggunakannya secara proposional dan optimal, maka puncak keberhasilan pribadi akan mungkin dapat dicapai.





Hello world!

20 01 2010

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!