22 01 2010





Tujuan Pembentukan Kesadaran Diri

22 01 2010

Mengkaji tujuan kesadaran diri berarti memaknai kesadaran diri sebagai sesuatu yang penting bagi manusia. Pentingnya kesadaran diri terkandung dalam Al-Qur’an Surat Al-Hasyr ayat 19: “Dan janganlah kamu seperti orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.”

Dalam ayat di atas, dikatakan bahwa melupakan Tuhan menyebabkan kita melupakan diri kita sendiri, dan pada akhirnya membawa kita kepada pelanggaran. Arti kata “pelanggaran” di sini dimaknai dengan melanggar norma-norma yang ditentukan oleh agama, adat, dan hukum yang berlaku.

Sementara itu ada pula hadis yang prinsipnya sama dengan ayat di atas, tetapi melihat proses kesadaran diri dan sudut pandang lain. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa dengan bersungguh-sungguh mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”

Tersirat dalam hadis di atas bahwa pengenalan diri meliputi pengetahuan tentang Tuhan. Dan orang yang melupakan Tuhan, berarti ia telah melupakan dirinya. Arti hadis di atas yang sesungguhnya adalah upaya untuk mengenal Tuhan dengan cara mempelajari dirinya sendiri.

Nasir Makarim Syirazi dalam bukunya “Tafsir Nemuneh” jilid 20, menafsirkan ayat di atas tadi sebagai petunjuk bahwa Allah SWT akan segera menunjukkan tanda-tanda-Nya. Allah mengatakan bahwa tanda-tanda itu terdapat di dua tempat: fil afaq wa fi anfusihim, ada di dua eksternal dan dalam diri manusia. Dalam ayat ini dikatakan pula bahwa dengan memandang tanda-tanda yang terdapat dalam jiwa kita dan yang ada di alam semesta, maka kita akan semakin yakin dengan sempurna dan jelas bahwa Allah SWT benar-benar ada.

Pada pertengahan tahun 1990, Daniel Goleman menulis tentang Kecerdasan Emosional (EQ) yang merupakan hasil penelitian para neurologi dan psikolog. Buku ini telah membuka mata banyak orang bahwa ada kecerdasan lain selain Kecerdasan Intelektual (IQ) yang bisa mempengaruhi perilaku manusia.

Pada akhir abad ke-20, serangkaian data ilmiah menunjukkan adanya jenis kecerdasan ketiga yaitu Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient). Jika IQ adalah kecerdasan yang digunakan untuk memecahkan masalah logika, sedangkan EQ menyadarkan kita tentang perasaan diri dan perasaan orang lain, maka SQ adalah kecerdasan yang menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, yakni suatu kecerdasan yang menilai tindakan atau jalan hidup seseorang agar lebih bermakna. Karena itu, SQ diperlukan sebagai landasan untuk memanfaatkan IQ dan EQ secara efektif.

Keterkaitan antara SQ dengan kesadaran diri bisa dirujuk pada pendapat M. Ali Shomali tentang hakikat mengenal diri. Menurutnya, hakikat mengenal diri adalah mengenal Tuhan. Artinya, semakin manusia sadar terhadap diri mereka, maka nilai spiritual yang ada pada diri mereka akan naik dan berkembang kea rah kesempurnaan.

Menurut Daniel Goleman, “SQ merupakan unsur terpenting di antara unsur IQ dan EQ, karena dalam pencapaian nilai IQ dan EQ yang optimal, seseorang harus terlebih dahulu sadar dengan dirinya sendiri, dan juga harus benar-benar tahu apa hakikat dirinya, yakni sebagai manusia ciptaan Tuhan dan hanya mengabdi kepada-Nya”.

Tujuan atau manfaat mengenal diri sangat terkait dengan tugas mulia manusia untuk mengembangkan dirinya. Dalam buku “Relasi Dengan Diri”, Antonius Atosokhi, dkk. menunjukkan tentang cara khas manusia dalam menempuh kesadaran diri, yakni dengan bereksistensi secara terus-menerus agar bisa berada dalam proses menjadi diri sendiri. Manusia adalah sesuatu yang sudah dan sekaligus belum; yang faktual dan yang potensial; suatu realitas yang masih harus dibentuk terus-menerus, tanpa henti, dan tanpa akhir. Untuk mewujudkan kecepatan, mutu dan sebagainya, sangat ditentukan oleh peran yang dimainkan seseorang dalam merealisasikannya.

Dalam pemaparannya, Antonius lebih menekankan pada unsur kesadaran diri sebagai proses berkesinambungan dan berlangsung selama manusia hidup. Ia menekankan tentang konsep penyadaran dan pengembangan diri yang harus didasarkan pada kenyataan faktual dari diri pribadi manusia. Maksud ungkapan “kenyataan data faktual” adalah faktor riil yang ada pada diri manusia mengenai: kemampuan, keterbatasan, dan perangkat pendukung yang ada (inderawi). Hal ini dimaksudkan agar kesadaran diri berfungsi sebagai pengarah dan pembatas. Artinya, ia menilai keberhasilan seseorang dalam mewujudkan sesuatu dalam dirinya tidak lain karena memiliki potensi, yang kemudian direalisasikan dengan bantuan arahan dan pembatas dari apa yang sudah dimiliki sebelumnya.

Pendapat Antonius Atosokhi di atas memperkuat argumentasi yang disampaikan oleh Hamka dalam bukunya yang berjudul “Pribadi”. Hamka mengatakan bahwa, “tujuan pembentukan kesadaran diri adalah sebagai identitas pembeda antara pribadi satu dengan pribadi yang lain tentang sifat-sifat dan kelebihan diri, akal budi, kemauan dan cita-cita, sehingga harga kemanusiaan seseorang berbeda dengan harga kemanusiaan yang lain”.

Sebuah pernyataan menarik dikatakan Antonius Atosokhi tentang tujuan kesadaran diri ialah, “dengan mengenal diri sendiri, seseorang dapat mengenal kenyataan dirinya dan sekaligus kemungkinan-kemungkinannya, serta (diharapkan) mengetahui peran apa yang harus dia mainkan untuk mewujudkan keinginannya”.

Sebuah corak psikoterapi yang dikemukakan Victor Frank (1905) menggambarkan manfaat langsung dari proses kesadaran diri. Menurut Frank, seperti yang dikutip dalam makalahnya Hanna Djumhana Bastaman, kesadaran diri manusia mampu melepaskan diri dari berbagai macam pengaruh lingkungan dan bentuk kecenderungan alami ke arah suatu keadaan atau perkembangan tertentu dalam dirinya.

Pendapat Frank tersebut sedikit berbeda dengan konsepsi kesadaran diri yang dibangun M. Iqbal. Yang dimaksud anfus (ego) oleh Iqbal adalah manusia yang merupakan kesatuan jiwa dan badan. Identitas manusia adalah individualitas yang mempunyai kesadaran, dan berkata “aku” (I am). Konsepsi kesadaran diri inilah yang menurut Iqbal menjadi tujuan manusia yang mencari tahu tentang sumber ilmu dan sumber informasi.

Salah satu manfaat praktis mengenal diri menurut M. Ali Shomali adalah seseorang bisa berteman akrab dengan berbagai kemampuan dan bakat pribadinya. Penjelasan tentang hakikat mengenal diri (kesadaran diri) merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi seseorang untuk memahami bahwa dia tidak berdiri sendiri secara teologis. Hal ini merupakan sesuatu yang bersifat urgen, karena kesadaran diri seperti ini dapat membantu seseorang untuk memahami persamaan tanpa melihat status dalam hidup ini.

M. Ali Shomali memaparkan manfaat kesadaran diri yang terangkum dalam enam bagian, yaitu:

  1. Kesadaran diri adalah alat kontrol kehidupan. Yang paling penting dalam konteks ini adalah seorang Mukmin bisa tahu bahwa ia adalah ciptaan Tuhan yang sangat berharga, dan tidak melihat dirinya sama seperti hewan lain yang hanya memiliki kebutuhan dasar untuk dipuaskan dan diperjuangkan.
  2. Mengenal berbagai karakteristik fitrah eksklusif yang memungkinkan orang melihat dengan jelas siapa mereka.
  3. Mengetahui aspek rohani dari wujud kita. Ruh kita bukan saja dipengaruhi oleh amal perbuatan kita, tetapi juga oleh gagasan-gagasan kita.
  4. Memahami bahwa kita tidak diciptakan secara kebetulan. Dalam memahami manfaat yang keempat ini, Antonius memaparkan tentang mekanisme proses alami manusia yang senantiasa mencari alasan bagi keberadaan hidupnya. Menurutnya, melalui kesadaran diri, perenungan dan tujuan penciptaan, orang akan sadar bahwa pribadi masing-masing itu unik (berbeda satu sama lain) dengan satu misi dalam kehidupan.
  5. Manusia akan memperoleh bantuan besar dalam menghargai unsur kesadaran dengan benar dan kritis terhadap proses perkembangan dan penyucian rohani.
  6. Kesadaran diri merupakan gerbang bagi dunia non-material atau spiritual menuju kepada Sang Khaliq (Tuhan).

M. Ali Shomali menambahkan bahwa unsur terpenting dalam mekanisme kesadaran diri adalah nilai rohani dari pengenalan diri. Menurutnya, karena antara diri pribadi dengan Tuhan itu berhubungan erat, maka seseorang akan lebih bisa menilai diri secara objektif dalam mengatasi kelemahan dan kekuatan dirinya, bersyukur atas nikmat-Nya, dan bersabar terhadap cobaan dari-Nya.

Dari keenam manfaat di atas, ada satu pemahaman baru tentang hakikat keberadaan manusia, yakni bahwa keadaan fisik dan keadaan empiris tidak dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan derajat keagamaan (spiritual) manusia.